Terkait dengan pengelolaan SDA, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Dalam bentuk yang ideal, pengelolaan SDA melalui otonomi daerah yang diterapkan dengan baik akan memberikan pengawasan demokratis terhadap proses pembentukan kebijakan, penegakan hukum yang efektif, pemerintahan daerah yang bersih dan transparan. Proses ini juga akan memberikan peluang penggunaan sumber daya alam berkelanjutan untuk kepentingan seluruh masyarakat sekarang dan di masa yang akan datang.
Di sisi lain, pengelolaan SDA yang tidak berjalan dengan baik seperti yang terjadi di banyak daerah saat ini hanya akan menyebabkan pengalihan kekuasaan kepada pusat-pusat pemerintahan daerah dengan para pemimpinnya yang bertingkah seperti tiran kecil dan hanya mencontoh ulang praktek-praktek perampokan sumber daya alam pada era Suharto untuk keuntungan pribadi secara maksimal di tingkat daerah. Adapun jika pemerintahan pusat tetap bersikeras untuk mempertahakan kontrol mereka, maka hasilnya mungkin adalah ketidakadilan sosial yang sama dan pelanggaran lingkungan yang seringkali dikaitkan dengan pemusatan kekuasaan di Jakarta sampai sekarang. Hal ini akan mengakibatkan ledakan gejolak sosial dan ketidak stabilan politik yang lebih besar. Salah satu bentuk dari tumpulnya otonomi daerah dalam pengelolaan SDA adalah penetapan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut justru mengebiri peran pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam pasal 32 dan seolah menjadi legitimasi dari penerapan otonomi daerah yang setengah hati.
Berbicara mengenai relasi antara negara dan masyarakat sipil dalam pengelolaan SDA pada masa otonomi daerah dapat dikatakan sebagai sebuah hal ironis. Dalam hal ini negara selaku pihak yang menetapkan kebijakan otonomi daerah justru memiliki campur tangan yang banyak dalam pengelolaan SDA di banyak daerah. Berhembusnya angin “reformasi” sampai dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah tidak banyak merubah kebijakan dan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang dipilih secara demokratis, yang mestinya digunakan untuk mengganti total peraturan dan Undang-Undang peninggalan Orde Baru, justru lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dan saling menjatuhkan satu sama lain. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang memiliki fungsi legislasi yang kuat, boleh dikatakan belum melakukan kewajibannya, khususnya yang berkaitan dengan legislasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penataan sistem politik nasional ke arah demokrasi yang partisipatif (participatory democracy). Perkembangan “reformasi” seperti ini tetap saja tidak memberikan “ruang” bagi sistem-sistem lokal untuk bekerja mengatur dirinya dan mengelola sumberdaya dan keanekaragaman hayati sesuai dengan prinsip-prinsip kearifan tadisional.
Penerapan otonomi daerah saat ini cenderung melebih-lebihkan persoalan penting mengenai tingkat pertanggungjawaban kekuasaan daerah dan pusat, dalam hal ini khususnya terkait dengan bidang pembuatan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam. Namun yang lebih membingungkan adalah peraturan pelaksana undang-undang tersebut. Hal ini dikarenakan daripada menjelaskan bagaimana undang-undang itu dijalankan dalam praktek, aturan pelaksana itu menggeser titik keseimbangan kekuasaan ke tangan pemerintahan pusat. Ringkasnya, ini merupakan suatu gabungan yang amat kompleks dan secara politik mudah meledak.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA, relasi antara negara dengan masyarakat sipil bermaksud agar kebijakan dan peraturan yang dibuat bersesuaian dengan kepentingan mayoritas masyarakat dan menguatkan peranan kontrol masyarakat atas pelaksanaan pengelolaan SDA. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, partisipasi masyarakat di daerah berfungsi untuk meminimalisasi dampak lingkungan atas penerapan kebijakan otonomi daerah seperti AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) pada setiap kegiatan pembangunan. Selain itu yang juga penting adalah memberdayakan civil society untuk mengatasi masalah lingkungan. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi derah maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mendemokratisasikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Dengan pentingnya relasi antara negara dan masyarkat dalam mengelola SDA maka seharusnya segala kegiatan yang berkaitan dengan perubahan lingkungan hidup harus dikomunikasikan dengan masyarakat. Ruang partisipasi masyarakat dibuka agar tuntutan mereka atas hak lingkungan yang sehat dapat terpenuhi. Diluar masalah lingkungan, peran serta masyarakat sangat penting dalam menjaga kearifan tradisional masyarakat. Bagaimanapun juga selama ratusan tahun masyarakat di banyak daerah sebenarnya sudah memiliki pola tersendiri yang seringkali lebih efektif dalam mengelola SDA.
Semenjak diterapkannya otonomi daerah sampai dengan saat ini, masih banyak daerah di Indonesia yang dapat dikatakan masih gagal dalam mengelola sumber daya alamnya, meskipun masih ada sgelintir yang dikategorikan berhasil. Saya melihat bahwa salah satu daerah yang berhasil dalam mengelola SDA adalah provinsi Kepulauan Riau, adapun Papua saya lihat sebgai daerah dengan pengelolaan SDA yang masih buruk. Dalam kasus di Kepulauan Riau pengelolaan SDA yang baik mendorong cepatnya pembangunan di provinsi ini. Hal yang berbeda terlihat di Papua ketika SDA yang dikelola secara besar-besaran dapat dikatakan sama sekali tidak berpengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Kasus yang terjadi di Papua menjadi representasi dari buruknya pengelolaan SDA di beragam daerah lainya di Indonesia.
Kepulauan Riau memiliki potensi sumber daya alam mineral dan energi yang relatif cukup besar dan bervariasi baik berupa bahan galian A (strategis) seperti minyak bumi dan gas alam, bahan galian B (vital) seperti timah, bauksit, dan pasir besi, maupun bahan galian golongan C seperti granit, pasir, dan kuarsa. Sebagai provinsi kepulauan, wilayah ini terdiri atas 96 % lautan. Kondisi ini sangat mendukung bagi pengembangan usaha budidaya perikanan mulai usahapembenihan sampai pemanfaatan teknologi budidaya maupun penangkapan. Di Kabupaten Karimun terdapat budidaya Ikan kakap, budidaya rumput laut, kerambah jaring apung. Kota Batam, Kabupaten Bintan, Lingga, dan Natuna juga memiliki potensi yang cukup besar di bidang perikanan. Selain perikanan tangkap di keempat Kabupaten tersebut, juga dikembangkan budidaya perikanan air laut dan air tawar. Di kota Batam tepatnya di Pulau Setoko, bahkan terdapat pusat pembenihan ikan kerapu yang mampu menghasilkan lebih dari 1 juta benih setahunnya. Provinsi Kepulauan Riau adalah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang benar-benar memiliki otonomi dalam mengelola SDA di daerahnya, bahkan salah satu kota di Kepulauan Riau ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus yakni Batam.
Sementara dalam kasus Papua, kegagalan pengelolaan SDA disebabkan adanya campur tangan pemerintah pusat dan corporat asing dalam setiap pengelolaan SDA di Papua. Hal ini semakin ironis melihat kenyataan bawa campur tangan pemerintah tersebut seringkali hanya menguntungkan pihak-phak corporat asing yang menguras habis SDA di Papua. Adapun masyarakat asli Papua sama sekali tidak diberikan peran dalam mengelola SDA selain sebagai buruh kasar. Akibat dari keberpihakan pemerintah pusat terhadap perusahaan-perusahaan asing di Papua maka pengelolaan SDA di Papua sama sekali tidak berpengaruh dalam mendorong pembangunan di Papua, sebaliknya masyarakat Papua menjadi korban dari imperialisme modern akibat dikurasnya SDA di Papua.
Salah satu bentuk penindasan terhadap masyarakat papua terjadi dalam kasus yang terkait dengan PT Freeport. Di mata orang Papua, tambang raksasa milik perusahaan Amerika ini bukan hanya simbol neo-liberalisme, atau imperialisme Amerika sebagai negara adidaya, tapi juga simbol kolonialisme Indonesia. Atau lebih tepat, simbol persekongkolan antara imperialisme bangsa Amerika dengan beberapa pejabat tinggi di Indonesia. Sebab apa yang masyarakat Papua lihat dan rasakan adalah bahwa penggusuran sukubangsa Amungme dan Mimika dari tanah dan perairan ulayat mereka, dilakukan oleh aparat bersenjata Indonesia, untuk kepentingan mereka yang menjadi pemegang saham PT Freeport Indonesia. w Rom7 ” e x span>m sistem sosialnya karena tidak mampu memenuhi kualifikasi lapangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan masalah sosial – termasuk diantaranya adalah pengangguran – berasal dari kegagalan pemenuhan kebutuhan yang dialami oleh sebagian anggota masyarakat akibat dari hambatan struktural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah dengan kata yang sopan dan tidak menyinggung pengguna yang lain 😉🤗
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.