Selasa, 27 November 2018

Etika dan Moralitas


Pengertian Etika
Etika merupakan kata benda abstrak yang bersifat umum. Secara khusus penggunaan kata etika ialah misalnya etika profesi, kode etik, perilaku etis. Etika berasal dari bahasa Latin (ethicus) yang berarti karakter atau berperilaku. Berbagai definisi atau pengertian etika :
Nilai, norma, dan moral yang dijadikan pegangan orang/kelompok. (Bertens 1993)
Kumpulan azas/nilai moral dan kode etik Ilmu tentang perbedaan tingkah laku yang baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Cara manusia memperlakukan sesama dan menjalani hidup dan kehidupan dengan baik, sesuai aturan yang berlaku di masyarakat. (Algermond Black 1993)
Yang paling sederhana: Perilaku standar yang dirumuskan oleh suatu ras atau bangsa. Pengetahuan tentang moral, pengembangan studi tentang prinsip-prinsip tugas manusia. Pengetahuan tentang filsafat, atau pengetahuan tentang perilaku moral. Perilaku moral artinya perilaku yang mempertimbangkan baik dan buruk, atau tentang apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Pengetahuan tentang kewajiban moral, atau lebih luas lagi, pengetahuan tentang perilaku manusia yang ideal dan hasil akhir tindakan manusia yang ideal.
Kamus Bahasa Indonesia : Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak yang dianut oleh masyarakat luas. Ukuran nilai mengenai apa yang salah dan benar sesuai dengan anggapan umum (anutan) masyarakat.

Pengertian Moral
Berbagai definisi atau pengertian moral telah dikemukakan sebagai berikut :
Hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma” Sarana untuk mengukur benar tidaknya tindakan manusia. Kepekaan dalam pikiran, perasaan dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan (Helden, 1997 & Richard, 1971)
Pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan manusia (Atkinson, 1969)
Manusia dapat dinilai dari banyak segi. Seorang dosen tertentu dapat dikatakan buruk, karena cara mengajarnya hanya dengan membacakan diktat dimuka kelas. Tetapi sebagai manusia, dosen itu baik karena sering membantu mahasiswa dalam belajar, jujur dan dapat dipercaya., selalu mengatakan yang benar , dan selalu bersikap adil. Sebaliknya ada seorang dokter ahli yang sangat sukses dalam profesinya, tetapi mata duitan karena memasang tarif konsultasi sangat tinggi.
Penilaian terhadap seseorang dari profesinya hanya menyangkut satu segi atau satu aspek saja dari orang itu sebagai manusia. Kata moral mengacu pada baik-buruknya seseorang sebagai manusia, yang bukan saja baik buruk menyangkut profesinya, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain tenis, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia Norma-norma moral adalah tolok ukur  untuk menentukan benar-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia, bukan hanya sebagai pelaku peran (profesi) tertentu.

Etika dan Ajaran Moral
Etika perlu dibedakan dari ajaran moral. Ajaran moral ialah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulam peraturan dan ketetapan, yang diperoleh secara lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia arus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral ialah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, misalnya orang tua, guru/dosen, pemuka masyarakat dan agama, atau secara tidak langsung dari tulisan para bijak, misalnya yang tertulis dalam lontara.
Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan suatu ajaran, sehingga mempunyai tingkatan yang berbeda. Yang mengatur bagaimana kita harus hidup adalah ajaran moral. Etika berkaitan dengan pengertian mengenai mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana sikap kita yang bertanggungjawab terhadap pelbagai ajaran moral.  Etika berusaha untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu.

SIKAP-SIKAP KEPRIBADIAN MORAL YANG KUAT
 1.      Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri.  Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun.  Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua bersikap fair. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini.  Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya.

Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair: ia memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan kebohongan akan disobeknya.

Lankah awal untuk menerapkan sikap tersebut adalah dengan kita berhenti membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita sendiri. Kita perlu melawan kecondongan untuk berasionalisasi, menghindari show dan pembawaan berlebih-lebihan. Orang jujur tidak perlu mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain.

2.      Nilai-nilai otentik

Di sini tempatnya untuk beberapa kata tentang sesuatu yang erat hubungannya dengan hal kejujuran dan juga sangat penting kalau kita mau menjadi orang yang kuat dan matang: Kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa membeo saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam segala-galanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin.

Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.

”Otentik” berarti ”asli”. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang sebenarnya. Manusia yang tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang dalam segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri melainkan terbentuk oleh peranan yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.

Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.

3.  Kesediaan untuk bertanggung jawab

Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada pamrih kita.  Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah di mana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita emong, kita pelihara, kita selesaikan dengan baik, bahkan andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

Kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai atasan ia, dengan hubungan dengan pihak luar, bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atau suatu keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung jawab adalah seorang bawahan.

Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.

4.  Kemandirian moral

Keutamaan ketiga yang perlu kita capai apabila kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam, maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi pendirian kita.

Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat ”beli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

5.  Keberanian moral

Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan  diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau itu berarti mengkrompomikan kebenaran dan keadilan.

Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mengecewakan dia. Ia merasa lebih mandiri. Ia bagaikan batu karang di tengah-tengah sungai yang tetap kokoh dan tidak ikut arus. Ia memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat kezaliman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa.

6.  Kerendahan hati

Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain padanya bersifat kebetulan saja. Ia sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya terbatas. Tetapi ia telah menerima diri. Ia tidak gugup atau sedih karena ia bukan seorang manusia super. Justru karena itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan yang sulit dipertahankan kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya ”ketahuan”. Ia sendiri sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya. Maka ia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya.

Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri dalam dialog kritis. Justru orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

7.  Realistis dan kritis

Sikap realistis tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistis mesti berbarengan dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang dapat lebih bahagia. Prinsip-prinsip moral dasar adalah norma kritis yang kita letakkan pada keadaan.

Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak boleh menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap wewenang harus sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syarat-syarat agar semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia boleh dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis. Peraturan-peraturan itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan mengarahkan hidup masyarakat kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih berfungsi demikian ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang justru tidak adil dan malahan membawa penderitaan?

Tanggung jawab moral yang nyata menuntut sikap realistis dan kritis. Pedomannya ialah untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar dari anggota-anggota untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.

Dalam kenyataannya sikap-sikap tersebut memang sangatlah sulit untuk diterapkan namun dengan adanya tekad yang bulat dan keyakinan yang mantap. Dan dengan cara kita senantiasa melatih diri untuk selalu mengamalkan dan memelihara sikap-sikap tersebut.  Maka dengan seiring berjalannya waktu sikap-sikap tersebut akan mudah kita terapkan dengan sendirinya. Dan dengan demikian kita pasti akan menjadi sosok pribadi yang memiliki etika dan moral yang mantap.


AGAMA DAN MORALITAS

Dalam agama terdapat aturan-aturan tentang bagaimana menjalani hidup di dunia ini baik hubungannya dengan sesama manusia, manusia dan lingkungannya dan manusia dengan Tuhannya. Namun, pada era sekarang ini banyak orang yang belum mengetahui bagaimana pengertian agama yang sebenarnya.
Secara etimologis, dalam bahasa sansekerta, kata agama berasal dari kata gam yang berarti pergi. Kemudian, dalam bahasa Indonesia diberi awalan dan akhiran “a” sehingga menjadi kata agama yang berarti jalan. Denman demikian, kata agama berarti sebuah jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Istilah lain tentang agama adalah religi atau religion atau religio. Kata religi berasal dari bahasa latinya itu religare atau religereyang mempunyai arti terikat dan hati-hati. Terikat disini maksudnya bahwa orang yang ber-religi atau ber-religareadalah orang yang selalu merasa dirinya terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Sedangkan hati-hati mempunyai maksud bahwa orang yang ber-religereadalah orang yang selalu berhati-hati terhadap sesuatu hal yang dianggap suci, contoh : masjid adalah tempat suci umat Islam.
Sementara itu moral merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan. Moral berasal dari kata Moresyang artinya adat atau cara hidup. Secara umum, moralitas merupakan sifat moral dari suatu perbuatan, atau pandangan baik buruk nya kita tentang suatu perbuatan.
Menurut Sonny Keraf, moral menjadi tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia sebagai orang dengan jabatan tertentu atau profesi tertentu. Sehingga seseorang dapat memiliki moral bersifat baik, ataupun moral yang bersifat buruk.
Ketika berbicara tentang moral maka tidak akan bisa lepas dari agama, karena di dalam agama terkandung nilai-nilai moral. Keith A. Robert mengatakan bahwa pada umumnya individu penganut agama memandang agama sangat erat hubungannya dengan ajaran moralitas sehari-hari. Moralitas dalam agama juga dipandang sebagai sesuatu yang luhur, tatanan dalam kehidupan sosial yang dijadikan pedoman. Bisa dibilang, agama melahirkan moral. Sehingga seseorang yang beragama dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik semestinya juga memiliki moral yang baik. Berikut ini adalah salah satu contoh kasus agama dan moralitas yang ada di masyasarakat.
Salah satu fungsi dari agama adalah penanaman nilai moral dan memperkuat ketaatan terhadap nilai moral yang ada. Oleh karena itu marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan yang Maha Esa karena hal itu adalah dasar dari segala tindakan dan hanya dengan keimananlah seseorang bisa memiliki moral dan perilaku yang baik.


HUKUM DAN MORALITAS
Dalam pandangan Hart penegasan bahwa di antara hukum dan moralitas ada suatu hubungan yang perlu atau mutlak memiliki banyak ragam pemahaman yang penting namun tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Berangkat dari ketidakjelasan ini Hart berupaya menunjukkan dan mengevaluasi alasan-alasan yang mendasari pandangan tersebut. Menurutnya, tak satu pun alasan yang diajukan untuk menunjukkan hubungan mutlak itu memadai meskipun ia mengakui beberapa segi dari argumen yang dikemukakan memiliki kebenaran, sesuai dengan beberapa fakta yang dapat dijumpai dalam sistem hukum.
Hart mengakui bahwa hukum, keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat dekat. Bahkan salah satu aspek keadilan, yaitu keadilan adminsitratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan moralitas berhubungan secara ‗mutlak‘. Keadilan administratif yang dimaksud di sini tidak lain keadilan dalam penerapan hukum. Penerapan hukuman terhadap seseorang hanya didasarkan pada karakteristik yangdisebutkan dalam hukum. Hukum tentang pembunuhan, misalnya, menyebutkan bahwa seseorang yang secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain dihukum lima belas tahun, maka dari ketentuan ini kita akan tahu mana karakteristik yang relevan dan tidak relevan untuk untuk menghukum pelaku pembunuhan. Warna kulit dan jenis rambut pelaku tidak relevan; sementara keputusan atau niat orang tersebut relevan. Jika dalam memutuskan kasus tertentu karakteristik yang disebutkan dalam hukum itu diabaikan, maka penerapan hukuman dianggap tidak adil. Keadilan dalam penerapan hukum ini menurut Hart memiliki hubungan yang mutlak dengan hukum. Namun, hubungan mutlak ini hanya menyangkut administrasi hukum dan keadilan jenis ini bisa juga dapat terjadi dalam sebuah sistem hukum yang di dalamnya penuh dengan hukum yang tidak adil. Selain dalam administrasi hukum Hart juga mengakui hubungan penting antara hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum. Hukum kodrat minimum tidak lain pandangan Hart sendiri mengenai kodrat manusia yang berbeda dengan hukum kodrat klasik. Menurutnya kodrat manusia yang paling dasar adalah bertahan hidup, sebab dengan bertahan hidup manusia dapat memenuhi tujuan hidup lainnya. Untuk dapat beratahan hidup, di samping memerlukan ketersediaan bahan konsumsi, manusia juga memerlukan aturan yang dapat menjaga kehidupan bersama mereka. Di sinilah moralitas dan hukum bertemu; kedua aturan ini, meski berbeda, sama-sama menuntut hal yang sama, yaitu terpeliharanya kehidupan bersama manusia.
Namun, hubungan mutlak antara hukum dan moraltias dalam hukum kodrat minimum ini menurutnya bukan kemutlakan logis, melainkan  kemutlakan alamiah‘. Disebut mutlak alamiah karena kemutlakan hubungan itu didasarkan pada kondisi alamiah kehidupan manusia itu sendiri. Artinya, selama kondisi kehidupan manusia tidak mengalami perubahan, maka hukum dan moralitas akan berhubungan mutlak. Hart hanya mengakui hubungan ‗mutlak‘ hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum dan administrasi hukum, dan hal itu seperti telah disebutkan, bukan mutlak logis seperti yang dianggap selama ini. Dalam The Concept of Law, Hart menguji enam alasan lain yang dijadikan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas.
Pertama, kekuasaan dan otoritas. Poin pertama mengenai adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas berhubungan dengan isu kekuasaan dan otoritas. Seringkali dikatakan bahwa sebuah sistem hukum harus bertumpu pada pemahaman akan kewajiban moral atau bertumpu pada keyakinan moral atas sistem tersebut. Sebuah sistemhukum, dalam pandangan ini, tidak bisa disandarkan semata pada kekuasaan manusia atas manusia lain. Dalam sebuah sistem hukum orang yang patuh hukum (membayar pajak, misalnya) semestinya tahu bahwa apa yang dilakukannya sejalan dengan keyakinan moralnya. Dengan kata lain, harus ada kesesuaian antara kewajiban hukum dan kewajiban moral.
Kedua, pengaruh moralitas terhadap hukum. Hukum dan moralitas memiliki hubungan yang mutlak karena keduanya memiliki hubungan timbal balik. Moralitas suatu masyarakat mepengaruhi produk hukum dan hukum memengaruhi pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut. Jika ini yang dimaksud dengan hubungan mutlak antara hukum dan moralitas maka Hart dengan sepenuh hati menerimanya.  Bahkan lebih jauh Hart berpendapat bahwa tak seorang positivis pun menolak adanya fakta bahwa pandangan moral dapat masuk ke dalam hukum.
Ketiga, interpretasi. Hart mengakui penerapan hukum pada kasus yang samar-samar akan melibatkan pertimbangan tertentu, pertimbangan yang menunjukkan bagaimana hukum seharusnya. Keputusan yang diberikan hakim pada kasus tertentu, menurut Hart, tidak semataberdasarkan pada kesewenang-wenangan, melainkan dibimbing oleh prinsip-prinsip, kebijakan sosial, dan kepercayaan moral; hukum yang ada dan hukum yang seharusnya berkelindan dalam penafsiran hukum. Ketika menginterpretasi undang-undang dan preseden, para hakim tidak dibatasi oleh alternatif-alternatif yang ada dan kehendak pribadi, atau deduksi ‗mekanis‘ dari peraturan-peraturan yang maknanya telah tertentukan secara definitif.15 Sering sekali pilihan mereka dituntun oleh asumsi bahwa tujuan dari peraturan yang tengah mereka interpretasi adalah tujuan yang masuk akal, sehingga peraturan itu tidak dimaksudkan untuk menghasilkan ketidakadilan atau melanggar prinsip-prinsip moral yang mapan.
Terhadap perluasan makna hukum ini Hart mengajukan dua sanggahan. Pertama, semua yang terlibat dalam proses pemutusan hukum dapat diungkapkan dengan cara lain. Kita dapat mengatakan bahwa hukum yang ada belum sempurna dan kita harus memutuskan kasus-kasus penumbra secara rasional dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan sosial. Kedua, meletakkan hubungan antara
Keempat, kritik hukum.  Pengertian lain yang mungkin muncul dari pernyataan hukum memiliki hubungan mutlak dengan moralitas adalah bahwa sebuah sistem hukum yang baik harus sejalan dengan moralitas. Hart juga menerima pengertian ini dengan beberapa catatan. Hart berpendapat jika yang dimaksud moralitas di sini adalah moralitas yang berlaku dalam sebuah masyarakat maka sistem hukum tidak perlu menyesuaikan sepenuhnya dengan moralitas tersebut. Kemudian jika moralitas yang dimaksud adalah sistem moralitas yang umum dan tercerahkan, maka banyak sistem hukum berjalan tanpa unsur-unsur ini. Dengan demikian, Hart tidak menolak sebuah sistem hukum sejalan dengan moralitas, tapi ia berpandangan bahwa tidak semua sistem hukum harus sesuai dengan moralitas. Karena itu hubungan keduanya tidak mutlak.
Kelima, prinsip legalitas dan keadilan. Agar hukum bisa diterapkan secara efektif, hukum harus dipahami oleh semua orang, diketahui sebelum diundangkan, prospektif, diterapkan secara sama terhadap semua orang, diterapkan secara imparsial, dan seterusnya. Bagi sebagian orang adanya elemen-elemen tersebut menunjukkan kemutlakan hubungan hukum dan moralitas atau, seperti disebut Lon Fuller, elemen-elemen tersebut merupakan ―moralitas dalam‖ (inner morality) hukum. Namun bagi Hart, elemen-elemen tersebut juga ada dalam sebuah sistem hukum yang secara moral jahat. Dengan kata lain, elemen-elemen keadilan seperti hukum harus dapat dipahami semua orang, diketahui sebelum diberlakukan, memiliki kemungkinan untuk dilaksanakan, dan prospektif, bukanlah moralitas hukum melainkan cara agar hukum bisa diterapkan secara efektif. Bahkan menurut Hart pembedaan antara sistem hukum yang baik, yang sejalan dengan moralitas dan keadilan, dan sistem yang buruk adalah pembedaan yang keliru, sebab menurutnya satu kadar minimum keadilan jelas terwujud setiap kali perilaku manusia dikontrol oleh peraturan yang diumumkan secara publik dan diterapkan secara yudisial. Namun apa yang dianggap sebagai moralitas dan keadilan dalam hukum menurut Hart tidak lebih dari standar prosedural yang diterapkan kebanyakan sistem hukum. Karena itu, fakta adanya elemen-elemen keadilan dalam hukum tidak dapat disimpulkan bahwa hukum memiliki hubungan mutlak dengan moralitas.
Keenam, validitas hukum dan resistensi. Argumentasi terakhir untuk mendukung tesis kesatuan hukum dan moralitas berkaitan dengan pembangkangan terhadap hukum yang jahat. Menurut para pendukung teori hukum kodrat, positivisme hukum akan menghalangi orang untukmenentang hukum yang ditetapkan secara valid tapi berlawanan dengan moral dan keadilan. Salah satu pemikir hukum kontemporer yang disebut Hart adalah Gustav Radbruch, salah satu teoritikus hukum dari Jerman yang gencar mewartakan keterkaitan hukum dan moralitas. Hukum yang valid, menurut Radbruch hanyalah hukum yang sejalan dengan moralitas. Sebaliknya, hukum yang berlawanan dengan moralitas dengan sendirinya tidak bisa disebut hukum.

SUMBER:
https://medium.com/@TERRAITB/agama-dan-moralitas-9ede4d36a014
http://bayutripamungkas111.blogspot.com/2017/04/etika-profesi-dalam-teknik-sipil-dalam.html?m=1


ETIKA PROFESI DALAM TEKNIK SIPIL

Dalam dunia Civil Engineering, anda akan dihadapkan pada sebuah dunia menantang nurani anda. Anda mungkin akan mudah mendapatkan timbunan rupiah dengan lancar, asalkan anda mau mengikuti "rel" yang ada. Banyak praktisi telah membuang prinsip etika profesi dalam suatu kegiatan konstruksi, demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Misalnya dengan mengurangi suatu bahan atau spesifikasi tertentu, sehingga konstruksi tersebut dapat dihemat, dan uang pun masuk kantung. Kalau sudah begini, anda mungkin perlu memperhatikan prinsip-prinsip etika dalam dunia konstruksi berikut:

A..Prinsip-Prinsip Etika

1. Prinsip tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya terhadap dampak pekerjaan terhadap orang lain
2. Prinsip keadilan, tidak merugikan; membedakan orang lain.
3. Prinsip Otonomi. Kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya, tetapi dibatasitanggungjawab dan komitmen profesional dan  tidak mengganggukepentingan umum.
4. Prinsip integritas moral yang tinggi.Komitmen pribadi menjaga keluhuran profesi.

B. Prinsip Umum Etika Bisnis

Prinsip etika bisnis sangat dipengaruhi sistem nilai dalammasyarakat, Secara umum dalam bisnis sesungguhnya penerapanprinsip etika pada umumnya.
 Etika Profesi Insinyur Sipil
Insinyur adalah sebuah profesi yang penting didalam pelaksanaan pembangunan karena banyak berhubungan dengan aktivitas perancangan maupun perekayasaan yang ditujukan semata dan demi kemanfaatan bagi manusia.Dengan mengacu pada pengertian dan pemahaman mengenai profesi, (sikap) professional dan (paham) profesionalisme.Penting untuk pertama memberikan definisi formal menyoroti peran seorang insinyur sipil. Seorang insinyur sipil bertanggung jawab untuk menggunakan latar belakang teknik sipil mereka untuk merencanakan dan mengawasi upaya pembangunan berbagai bidang. Mereka akan menerapkan prinsip-prinsip teknik sipil untuk memastikan bahwa struktur yang dibangun dengan cara paling aman.Salah satu tanggung jawab umum dari insinyur sipil adalah menganalisis berbagai faktor yang menyangkut pekerjaan konstruksi. Para insinyur sipil akan menganalisis lokasi situs yang diusulkan serta pekerjaan konstruksi seluruh yang akan selesai pada situs tersebut. Mereka akan menganalisis proses untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi setiap langkah demi langkah.
 Peranan Etika dalam Profesi
Etika pada hakekatnya merupakan pandangan hidup dan pedoman tentang bagaimana orang itu seyogjanya berperilaku. Dan etika berasal dari kesadaran manusia yang merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.Etika juga merupakan penilaian kualifikasiterhadap perbuatan seseorang (Mertokusumo, 1991)”.Dikaitkan dengan profesi yang merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus, menuntut pengetahuan dan tanggung jawab, diabdikan untuk kepentingan orang banyak, mempunyai organisasi profesi dan mendapat pengakuan dari masyarakat, serta kode etik, sehingga etika merupakan alat untuk mengendalikan diri bagi masing-masing anggota profesi.Dalam etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral yang tinggi yang biasanya dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengembangkan profesi yang bersangkutan.Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Tujuannya adalah agar profesional memberikan jasa atau produk yang sebaik-baiknya kepada masyarakat serta melindungi dari perbuatan yang tidak profesional, dengan demikian akan mendapatkan kepercayaan di mata masyarakat

Perlunya Kode Etik Profesi
Dirumuskan Secara Tertulis“Sumaryono (1995); mengemukakan alasan mengapa kode etik profesi perlu dirumuskan secara tertulis yaitu sebagai sarana kontrol sosial; sebagai pencegah campur tangan pihak lain; sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Kelemahannya adalah idealisme yang terkandung dalam kode etik profesi seringkali tidak sesuai harapan karena tidak sejalan dengan kenyataan dan tidak ada sanksi keras karena hanya berlaku pada kesadaran profesional.Etika sebagai cabang filsafat dapat didekati secara deskriptif dan normatif. Etika deskriptif membahas mengenai fakta apa adanya yaitu mengenai nilai dan pola perilaku sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Etika normatif membahas mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma.Ketika menghadapi suatu permasalahan seorang insinyur harus mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah tersebut dengan intuisinya Etika profesi dapat diarahkan untuk meningkatkan kemampuan otonomi etika para insinyur.Sebagai insinyur yang memiliki sikap professional dibidang keteknikan supaya tidak merusak etika profesi diperlukan sarana untuk mengatur profesi sebagai seorang professional dibidangnya berupa kode etik profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi yaitu:
1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan
2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesidapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).
3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu proyek atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain proyek atau perusahaan tanpa mendapatkan suatu ijin terlebih dahulu.

Etika Profesi Keinsinyuran
Seorang Insinyur dituntut untuk bekerja keras, disiplin, tidak asal jadi dan tuntas yang harus di imbangi dengan kerja cerdas yaitu mengikuti perkembangan teknologi dibidangnya, inovatif dan dapat menyelesaikan masalah dengan cara yang paling baik, bergerak cepat, tidak menunda pekerjaan sehingga visi, misi dan tujuan cepat tercapai, tanggap terhadap keinginan masyarakat; bertindak tepat: tepat rencana, tepat penyelesaian, serta rasional. Paham ketentuan hukum yag berlaku agar tidak merugikan diri sendiri, organisasi dan negara, melakukan pekerjaan sesuai prioritas, bekerja sesuai keahlian, sesuai prosedur standar, efektif, efisien dan komunikasi yang baik, dapat bekerjasama dengan pihak lain; berlaku jujur dan berdedikasi tinggi, tidak boleh ragu-ragu dalam bekerja dan memutuskan; bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menyadari bahwa bekerja sebagai takdir jalan hidup sehingga bersyukur dengan cara bekerja dengan lebih baik, bahwa bekerja merupakan ibadah dan mendekatkan kita kepada Tuhan.
Di Indonesia dalam hal kode etik telah diatur termasuk kode etik sebagai seorang insinyur yang disebut kode etik insinyur Indonesia dalam “Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia. (Wardiman,2015) Dalam kode etik insinyur terdapat prinsip-prinsip dasar yaitu:
1. Mengutamakan keluhuran budi.
2. Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia.
3. Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
4. Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesional keinsinyuran.
Tuntutan sikap yang harus dijalankan oleh seorang insinyur yang menjunjung tinggi kode etik seorang insinyur yang professional yaitu:
1. Insinyur Indonesia senantiasa mengutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan Masyarakat.
2. Insinyur Indonesia senantiasa bekerja sesuai dengan kempetensinya.
3. Insinyur Indinesia hanya menyatakan pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan.
4. Insinyur Indonesia senantiasa menghindari terjadinya pertentangan kepentingan dalam tanggung jawab tugasnya.
5. Insinyur Indonesia senantiasa membangun reputasi profesi berdasarkan kemampuan masing-masing.
6. Insinyur Indonesia senantiasa memegang teguh kehormatan, integritas dan martabat profesi.
7. Insinyur Indonesia senantiasa mengembangkan kemampuan profesionalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah dengan kata yang sopan dan tidak menyinggung pengguna yang lain 😉🤗

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.