Minggu, 02 Desember 2018

MATERI 6

 CONTOH KASUS MASALAH PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA
1. Berorientasi Pada Fisik
Beberapa masalah DAS telah coba diantisipasi pemerintah. Namun solusi untuk pengelolaan DAS yang dilakukan pemerintah cenderung pada infrastruktur fisik. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagaimana cara pemerintah sekarang mengelola Ciliwung. Menurut penjelasan Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Departemen Pekerjaan Umum, langkah-langkah pemerintah terhadap Sungai Ciliwung terangkum dalam program Total Solution for Ciliwung. Langkah-langkah tersebut meliputi
1) membuat sudetan di Kebun Baru dan di Kalibata yang akan dilakukan bersama antara Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dengan Pemprov DKI Jakarta,
2) membangun rusunawa ditujukan khususnya bagi masyarakat yang selama ini tinggal di bantaran sungai,
3) mengadakan pemindahan paksa warga yang ada di bantaran sungai kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dan Departemen Sosial. Pemindahan ini diutamakan bagi warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sementara yang tidak akan dipulangkan ke daerahnya dengan didampingi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
4) melakukan normalisasi Sungai Ciliwung yang salah satunya dengan melakukan pengerukan,
5) penambahan daun pintu air di pintu air Manggarai dan pintu air Karet,
6) menaikkan jembatan Banjir Kanal Barat (BKB) bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta,
7) revitalisasi Ciliwung lama terutama yang berada setelah pintu air Manggarai,
8) konservasi atau revitalisasi situ-situ, gerakan pembangunan sumur dan penghijauan,
9) membangun terowongan dari Ciliwung ke Banjir Kanal Timur melewati Cipinang.

Langkah-langkah yang lebih beroreintasi fisik ini ditargetkan akan selesai tahun 2014. Program pemerintah provinsi DKI Jakarta lebih berorientasi fisik misalnya pembangunan GSW (Giant Sea Wall) yang akan dibangun sepanjang 32 km dan akan menelan biaya sekitar Rp 100 Triliun dengan memakan waktu 10 tahun. Atau pembangunan TM (terowongan multifungsi) sepanjang 19 kilometer dan berdiameter 18 meter. Perkiraan biaya pembangunan TM berkisar Rp 16 triliun. Penyelesaian megaproyek tersebut dijadwalkan sekitar empat tahun.

Ada lagi permasalahan, rencana pengelolaan sungai yang berorientasi pada pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah ternyata tidak diimbangi dengan revitalisasi teknologi. Sebagian besar tekhnologi pengerukan sungai yang digunakan pemerintah Indonesia berasal dari luar negeri. Sejak tahun 1950-an, Indonesia mengadopsi teknologi dari Belanda untuk mengeruk beberapa sungai di Indonesia. Tapi sampai tahun 2012 pun, pemerintah masih mengandalkan teknologi yang tidk jauh berbeda dari Belanda. Hal ini bisa dilihat dari teknologi untuk proyek JEDI (bantuan pemerintah Belanda), di mana mesin pengeruk yang dipakai berasal dari Belanda seperti small floating bulldozer, hydraulic graf dan rotating drum separator.

2. Monopoli Pengelolaan Sumber Daya Air
Permasalaan lain DAS adalah adanya monopoli pengelolaan sumber daya air. Menurut Marwan Batubara (2010), intervensi Bank Dunia dalam pengelolaan sungai mengarah pada dua hal, yaitu mendorong ketergantungan Indonesia akan sumber pendanaan dari lembaga keuangan internasional khususnya Bank Dunia baik dalam bentuk utang dan hibah, serta memuluskan program privatisasi. Ketergantungan pendanaan bisa dilihat dari berbagai rekomendasi yang diberikan Bank Dunia dari setiap proyek yang dijalankan. Alasan utama Bank Dunia mendorong privatisasi adalah memberikan peran yang lebih besar bagi swasta dengan mengurangi monopoli Negara khususnya pemerintah dalam pengelolaan sungai. Asumsi Bank Dunia dengan masuknya swasta, maka pengelolaan air dan sungai menjadi lebih efisien dan pengelolaan yang lebih baik. Kenyataannya, privatisasi menimbulkan monopoli dalam bentuk lain. Jika sebelumnya monopoli dilakukan Negara melalui kekuasaan pemerintah, sekarang monopoli dilakukan swasta. Seperti kasus reklamasi pantai utara Jakarta, bukan lagi Negara khususnya masyarakat yang diuntungkan tetapi korporasi lewat monopoli pembangunan proyek-proyek besar seperti pemukiman mewah dan pengembangan kawasan wisata yang mendapat untung. Pada lahan reklamasi di kawasan Ancol, muncul hunian mewah seperti Bukit Golf Mediterania milik Agung Podomoro Group yang berada di Pantai Indah Kapuk dan Mediterania Marina Residence. Hunian-hunian mewah dan pengembangan kawasan wisata tadi ditujukan bagi masyarakat menengah ke atas, bukan untuk orang miskin yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal. Akibat sosialnya, selain masyarakat miskin tidak mendapatkan akses perumahan yang memadai, juga reklamasi telah menggusur nelayan dari pantai Utara Jakarta, dan masyarakat Jakarta pun tidak bisa bebas menikmati Pantai Utara Jakarta karena harus bayar. Sedangkan dampak lingkungannya adalah permukiman mewah tersebut menghalangi aliran air hujan ke laut. Sehingga ketika musim hujan, ancaman banjir tidak terelakkan dan Jakarta dapat menjadi kolam besar.

Kasus yang sama juga terjadi dalam pengelolaan air bersih terutama di Jakarta. Privatisasi PDAM Jaya di tahun 1998 mendorong monopoli pengelolaan air hanya pada dua perusahaan besar yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dari Inggris dan Thames PAM Jaya (sekarang Aetra) dari Perancis.

Setelah lebih dari 13 tahun layanan air bersih di Jakarta diprivatisasi, akses masyarakat terhadap air bersih tidak membaik. Kedua operator tersebut saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 54 persen kebutuhan air bersih untuk warga DKI Jakarta, sedangkan selebihnya 46 persen kebutuhan air bagi warga diperoleh dari sumber air tanah. Kedua operator swasta gagal memenuhi harapan, untuk memberikan perbaikan layanan kepada masyarakat. Target-target teknis yang telah disepakati gagal dipenuhi oleh dua operator swasta. layanan yang tertuang di kontrak kerjasama tidak berhasil dipenuhi, antara lain volume air yang terjual, kebocoran air dan cakupan layanan. Tingkat kebocoran air mencapai 46% atau kurang lebih senilai Rp 1.764 miliar. Cakupan layanan hanya 63% pada akhir tahun 2008 , hal ini berarti ada 37% kelompok masyarakat Jakarta belum mendapatkan fasilitas air bersih.

PAM Jaya sendiri melalui Direkturnya menyatakan bahwa sejak diprivatisasi, PAM Jaya mengalami kerugian hingga Rp. 583,67 milyar. Kerugian ini muncul akibat hutang shortfall, yaitu hutang yang muncul akibat adanya selisih antara imbalan yang diberikan kepada dua operator swasta dengan tarif . Apabila privatisasi air Jakarta tetap dilanjutkan sampai kontrak konsesi berakhir maka kerugian PAM Jaya diperkirakan sebesar Rp. 18 triliun pada tahun 2022.

3. Tekanan Pencemaran
Dalam peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pasal 1 pencemaran air adalah: “masuknya atau dimasukkan makhluk hidup, zat energy dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.”

Beban pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga menggangu peruntukan ekosistem tersebut (Effendi,2003). Sumber pencemaran yang masuk ke badan perairan dibedakan atas pencemaran yang disebabkan oleh alam polutan alamiah) dan pecemaran yang disebabkan oleh alam dan pencemaran kegiatan mansia. Menurut sugiharto (1989) air limbah didefinisikan sebagai kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industry, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya.

Lingkungan perairan dapat merespon masuknya bahan pencemar sebagai bagian dari proses alami untuk kembali pada kualitas air semula. Proses ini disebut self purification. Definisi dari self purification adalah pemulihan oleh proses alami baik secara total ataupun sebagian kembali ke kondisi awal sungai dari bahan asing yang secara kualitas maupun kuantitas menyebabkan perubahan karakteristik fisik, kimia dan atau biologi yang terukur dari sungai (Benoit, 1971). Proses pemulihan secara alami berlangsung secara fisik, kimiawi dan biologi. Sungai yang alami dapat mendukung alami proses pemurnian diri dan menyebabkan kualitas air yang lebih baik dari kondisi air semula. Proses tersebut disebut homeostatis.

Menurut Davis dan Cornwell (1991), sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan dapat berasal dari buangan yang diklasifikasikan:
1. Point source discharges (sumber titik), yaitu sumber titik atau sumber pencemar yang dapat diketahui secara akurat, dapat berupa suatu lokasi seperti air limbah industry maupun domestic serta saluran lokasi seperti air limbah maupun domestic serta saluran drainase.
2. Non point source (sebaran menyebar), berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari wilayah pertanian, pemukiman dan perkotaan.

Danpak negative dari air limbah, antara lain:
1. Gangguan terhadap kesehatan
2. Gangguan terhadap Kehidupan Biotik
3. Gangguan terhadap Keindahan
4. Gangguan terhadap Kerusakan Benda

4. Kurang Terpadu Dalam Pengelolaan DAS
Faktor lain yang merupakan kendala dalam pengelolaan DAS adalah kurangnya keterpaduan dan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Kondisi ini terjadi karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal dan Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perusahaan swasta, LSM dan masyarakat. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dan panjangnya birokrasi yang perlu ditempuh, baik secara administrasi, perencanaan dan teknis dilapangan, maka diperlukan adanya koordinasi intensif berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah.

Keterpaduan mengandung pengertian terbinanya keserasian, keselarasan, keseimbangan dan koordinasi yang berdaya guna dan berhasil guna. Keterpaduan pengelolaan DAS memerlukan partisipasi yang setara dan kesepakatan para pihak dalam segala hal mulai dari penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian hasil-hasilnya.

Contoh tidak terpadunya pengelolaan DAS adalah banjir di Jakarta. Banjir di Jakarta merupakan salah satu indikator kegagalan pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola sumber daya alam yang memiliki manfaat publik. DAS yang melintasi daerah Jakarta bermuara di provinsi Banten dan Jawa Barat, juga melibatkan pemerintah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Bekasi dan Tangerang. Tidak hanya itu, pengelolaan DAS juga melibatkan berbagai kementerian seperti PU, Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Bappenas.

Lemahnya koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menjalankan program-program pengelolaan DAS terpadu merupakan focus masalah yang harus dipecahkan bersama. Dalam hubungannya dengan otonomi daerah, penguatan kapasitas dari para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah riil mengurangi resiko banjir, merupakan agenda bersama para pemangku kepentingan yang tidak bisa ditunda.




CONTOH KASUS NORMALISASI BANTARAN SUNGAI
Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta akan melakukan upaya normalisasi sungai. Hal itu dilakukan dengan mengeruk sedimen di tiga sungai besar yang membelah kota tersebut.

"Kegiatan untuk mengeruk sedimen di tiga sungai sudah masuk dalam anggaran. Dalam pelaksanaannya, kami berkoodinasi dengan komunitas yang ada di tiga sungai tersebut," kata Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta Aki Lukman di Yogyakarta, Jumat (2/3).

Kegiatan pengerukan sedimen akan diawali dari Sungai Gajah Wong yang direncakanan dilakukan untuk memperingati Hari Air Sedunia pada 22 Maret. Lokasi pengerukan sedimen di Sungai Gajah Wong berada di sekitar Pandeyan. Sedimen yang terbentuk di sungai tersebut tidak terlalu besar tetapi memanjang. "Sedimen yang terbentuk bahkan bisa digunakan untuk memelihara ayam oleh warga sekitar," kata Aki.

Kondisi sedimen yang hampir sama juga terjadi di Sungai Code. Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta berencana mengeruk sedimen yang ada di Gondolayu.

Aki menyebut, sedimen di Gondolayu sudah cukup besar bahkan bisa digunakan sebagai tempat bermain bola oleh anak-anak yang tinggal di sekitar bantaran sungai.

Sedangkan untuk di Sungai Winongo, kata Aki, masih akan dikoordinasikan dengan komunitas sungai. "Mungkin akan kami lakukan di sekitar wilayah Notoprajan," kata Aki.

Menurut Aki, pengerukan sedimen tersebut ditujukan untuk mengembalikan kondisi sungai seperti sebelumnya, sehingga aliran air menjadi lancar.

Keberadan sedimen, kata Aki, memberikan dampak yang tidak baik terhadap kondisi talud sungai. "Aliran sungai otomatis akan lebih kuat di salah satu sisi talud. Talud yang sering terhempas aliran akan menjadi lebih rentan rusak dan tergerus," katanya.

Talud Sungai di Yogya Mulai LongsorPantau Banjir, Pemkot Yogya Pasangi Lampu Sorot di Jembatan

Kondisi tersebut, kata Aki, terjadi di Sungai Code yang masuk ke wilayah Kepakaran. Sedimen di lokasi tersebut bahkan dapat dimanfaatkan untuk memelihara ayam dan kandang burung. "Akibatnya, sisi talud sebelah timur rentan rusak karena sedimen yang terbentuk di sisi barat," katanya.

Anggaran yang dialokasikan untuk pengerukan sedimen di tiga sungai mencapai sekitar Rp 300 juta yaitu Rp 134 juta di Sungai Code, Rp 133 juta di Sungai Winongo, dan Rp 106 juta di Sungai Gajah Wong.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah dengan kata yang sopan dan tidak menyinggung pengguna yang lain 😉🤗

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.